Selasa, 22 Desember 2009

Dampak Negatif ujian nasional

Ujian Nasional Sudah dekat ! Tapi apakah Siswa Siswi di indonesia sudah siap buat menempuh ujian tersebut ????
Belum lama ini kita mendengar bahwa MA akan mencabut Ujian nasional , Tapi Departemen Pendidikan Tetap Saja Akan melaksanakan UN , sungguh kasian sekali ya siswa siswi yang akan menempuh UN ini .

Berikut Adalah Beberapa Dampak Negatif Yang Akan Muncul Dalam UN :

Pertama, konstruk berfikir para kepala sekolah/madrasah dan guru tentang hakekat atau substansi dari kegiatan pendidikan sekarang ini hanyalah sebatas mengantarkan para peserta didik untuk lulus ujian nasional saja. Akibatnya, tentang bagaimana mengantarkan peserta didik untuk menjadi anak yang cerdas sebagaimana dirumuskan dalam tujuan utama pendidikan nasional, tidak pernah terpikirkan secara sistemik. Karena yang penting bagaimana para peserta didik itu siap berlaga dalam UN yang hanya terdiri dari tiga mapel tersebut.

Kedua, dampak ujian nasional bagi peserta didik adalah timbulnya pemahaman yang keliru terhadap makna bejalar di sekolah/madrasah. Tujuan studi (belajar) yang mestinya dalam rangka mencari ilmu (thalab al- ‘ilmi), kecerdasan dan akhlak yang mulia (akhlak al-Karimah) berubah menjadi sekedar meraih elulusan ujian nasional untuk tuga mapel UN. Akibatnya, mapel-mapel yang tidak di- UN- kan akhirnya menjadi dinomorduakan, termasuk gurunya. Kondisi demikian ini masih diperparah oleh sistem pelaksanaan UN-nya tidak jujur. Setiap kali ada pelaksanaan UN hampir pasti muncul aroma yang cukup tajam bahwa ada beberapa sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan UN- nya tidak fair-play alias tidak jujur. Artinya, dalam pelaksanaan UN di tingkat sekolah/madrasah itu panitianya dan tentu dengan “restu” kepalanya secara langsung atau tidak langsung membantu siswa supaya lulus UN, misalnya dengan cara memberi kunci jawaban kepada peserta UN, dan juga bisa dengan cara menggunakan siswa pandai untuk “dicontoh” oleh peserta didik yang memang lemah.

Sebenarnya untuk mendeteksi sebuah sekolah/madrasah bertindak curang atau tidak itu tidak terlalu sulit, di antaranya menanyakan kepada para peserta didik yang baru saja menyelesaikan belajarnya (tamat). Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa sebuah sekolah/madrasah itu melakukan curang/ tidak. Di samping itu, di dunia pendidikan kita sekarang ini muncul “keanehan-keanehan”. Misalnya, ekarang ini banyak sekolah/madrasah yang pada tahun lalu tingkat kelulusan UN- nya mencapai di atas 90% bahkan banyak yang 100%, sekarang ini malah justru hasil UN- nya di bawag 50%. Keanehan lain misalnya pada UN yahun yang lalu, ada sekolah/ madrasah yang sarprasnya pas-pasan, gurunya rata-rata di bawah standar bahkan mis-macth serta proses KBM nya tidak karuan alias sering kosong, tapi hasil kelulusannya luar biasa karena mencapai di atas 95% bahkan sampai 100%. Sementara di pihak lain ada sekolah/madrasah yang sarprasnya lengkap dan bagus, gurunya sudah memenuhi standar, proses KBM-nya bagus, sementara hasil UN-nya hanya berkisar antara 70 s/d 80 %. Pertanyaannya adalah “ada apa denganmu panitia UN di tingkat sekolah/madrasah?”

Bagi penulis, sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan UN- nya itu tidak jujur dan tidak fair-play, sebenarnya lembaga pendidikan tersebut telah melakukan “kejahatan intelektual” secara berjama’ah. Siapa yang paling berdosa, tidak lain adalah panitia UN di tingkat sekolah/madrasah yang tentu saja “dikomandani” oleh kepala sekolah/kepala madrasahnya. Mengapa saya katakan sebagai kejahatan intelektual? Tidak lain karena mereka para panitia UN dan kepala sekolah/ madrasah yang mestinya menjunjung nilai-nilai akademis dalam dunia ilmu malah justru melakukan kecurangan. Dengan melakukan kecurangan, berarti telah menafikan nilai-nilai akademis dari sebuah kegiatan pendidikan yaitu kejujuran (fairness) dan obyektifitas (objectivity) itu sendiri. Kalau dalam wilayah ilmu itu tidak jujur, jelas itu merupakan bentuk “kejahatan intelektual”. Bukankah dalam dunia ilmu itu mestinya harus bersemboyan “boleh salah tapi tidak boleh bohong”. Dan halnya dalam ranah/dunia politik, jargon yang dipakai adalah “bohong itu boleh tapi tidak boleh salah”. Bagi sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan UN- nya curang, maka akan berdampak pada peserta didik di kelas bawahnya yang tahun berikutnya akan melaksanakan UN. Mereka para adik kelas yang tahu bahwa kakak kelas dalam UN nya itu dibantu oleh guru, maka jelas mereka akan “ogah-ogahan” dalam belajar karena mereka tahu bahwa nanti pada saat UN pasti akan dibabntu oleh guru sebagaimana kakak kelasnya dulu.

Ketiga, dampak negatif terhadap wali peserta didik adalah bahwa sekarang ini sudah banyak wali peserta didik yang beranggapan bahwa yang namanya sukses pendidikan anaknya yaitu apabila anaknya lulus ujian nasional. Degan demikian para wali peserta didik sudah tidak lagi memperdulikan apakah anaknya itu akhlak/kelakuannya baik atau tidak, menjadi tambah mandiri, berwawasan luas, kretaif dan inovatif atau tidak?. Yang penting apabila sudah lulus UN berarti sudah berhasil. Konsekuensi asumsi yang demikian adalah wali peserta didik kemudian menjadi kurang respek terhadap pengawasan dan pendampingan belajar anaknya. Orang tua baru akan peduli terhadap belajar anaknya ketika UN sudah dekat, sementara untuk saat-saat di luar menjelang UN, anak tidak pernah dimotivasi untuk belajar secata kontinue.

Di samping apa yang telah diuraikan di atas, sebenarnya dampak negatif dari sistem UN yang ada sekarang ini juga melanda ke lembaga-lembaga /para pengelola pendidikan non pemerintah. Harus diingat bahwa para pengelola lembaga pendidikan non-pemerintah dalam membangun gedung/ RKB dan pengadaan fasilitas pendidikan yang lain itu, dananya berasal dari hutang bank. Kemudian guru dan karyawannya 100% swasta . Mereka berkewajiban “menyicil” tiap bulan ke Bank dan membayar guru/karyawan tiap bulan. Coba apa yang bakal terjadi apabila sekolah tersebut banyak yang tidak lulus?. Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan non pemerintah yang kondisinya demikian- penulis yakin- akan berusaha dengan “cara apapun” yang penting para siswanya harus lulus UN. Sebab, kalau sampai terjadi banyak yang tidak lulus UN akan dapat berakibat fatal dan bahkan bisa terjadi “kiamat” di lembaga pendidikan tersebut. Sebab, secara empirik, lembaga pendidikan non pemerintah yang demikian itu, sebenarnya bukan saja berfungsi sebagai wahana pencerdasan anak bangsa/peserta didik tetapi juga berfungsi ekonomis, yakni sebagai “lahan penghidupan” bagi guru dan pegawai yang berada di dalamnya beserta keluarganya. Dengan demikian kelulusan UN itu ada hubungannya dengan “dapur”..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar